Ulama-ulama Islam yang mengkritik demokrasi kafir antara lain adalah Dr. Fathi Ad Darini, salah seorang ulama besar dalam fiqih siyasah. Dalam kitabnya Khasha`ish At Tasyri’ Al Islami fi As Siyasah wa Al Hukm halaman 370 Dr. Fathi Ad Darini berkata:
”Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi Barat, dalam substansinya hanyalah merupakan ungkapan dari politik tersebut (sekularisme—penerj.) dan sudah diketahui bahwa demokrasi –pada asalnya— bersifat individualistis dan etnosentris.
Bahwa demokrasi bersifat individualistis, dikarenakan tujuan tertinggi demokrasi adalah individu dan pengutamaan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Sudah banyak koreksi-koreksi yang diberikan pada prinsip ini pada abad XX M.
Bahwa demokrasi bersifat etnosentris, dikarenakan demokrasi itu sendirilah yang telah melakukan penjajahan politik dan ekonomi dalam berbagai bentuknya sejak abad XV M sampai abad XX M. Dahulu Inggris misalnya mempunyai departemen yang bernama Departemen Wilayah Jajahan dan mempunyai pula menteri yang mengelola urusan-urusan penjajahan, yaitu Menteri Wilayah Jajahan. Hal ini masih ada hingga beberapa waktu yang lalu.
Demikianlah. Politik ini didasarkan pada prinsip-prinsip yang ringkasnya adalah sebagai berikut :
1.Memisahkan politik dari moral dan agama, dan menegakkan politik di atas dasar prinsip-prinsip khusus.
2.Etnosentrisme, yaitu paham bahwa manusia Eropa adalah manusia yang terunggul.
3.Menjadikan sistem perwakilan sebagai cara dalam mengatur pemerintahan.
4.Menerapkan prinsip “kebebasan umum/masyarakat” dalam pengertiannya yang individualistis, tradisional, dan absolut.
5.Kebebasan ekonomi, sebagai cabang dari kecenderungan prinsip individualisme yang ekstrem.
6.Sesungguhnya demokrasi politik adalah sistem yang membiarkan, bukan sistem yang meluruskan.
Artinya demokrasi mendekati mayoritas rakyat dengan membiarkan mereka dalam keadaan apa adanya dan memperlakukan mereka mengikuti asas ini atas nama kebebasan.”
Syaikh Abul A’la Al Maududi dalam kitabnya Al Islam wa Al Madaniyah Al Haditsah halaman 36 mengatakan :
“Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban moderen adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al jamahir). Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini mengikuti hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan pemerintahan –dengan bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi materilnya— bukanlah untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat, berkebalikan dengan apa yang seharusnya diwujudkan…
Maka dari itu, kita menentang sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis baik yang ditegakkan oleh orang-orang Barat maupun Timur, muslim ataupun non muslim. Setiap kali bencana ini turun dan di mana pun dia ada, maka kita akan mencoba untuk menyadarkan hamba-hamba Allah akan bahayanya yang besar dan akan mengajak mereka untuk memeranginya.”
Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata :
“Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”
Muhammad Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan :
“Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”
Utsman Khalil, meskipun telah menulis kitab yang diberinya judul Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah (Demokrasi Islami), namun sebenarnya dia sendiri menentang demokrasi. Utsman Khalil berkata dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8 :
“Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”
Jadi demokrasi adalah bid’ah dalam hal pemikiran dan politik yang diimpor dari Barat.
Di antara sedikit pemikir yang membongkar perbedaan-perbedaan substansial antara demokrasi dan sistem politik Islam adalah Anwar Al Jundi. Karena pentingnya, kami kutipkan secara panjang lebar pendapatnya dalam kitabnya Sumum Al Istisyraq wa Al Mustasyriqun fi Al Ulum Al Islamiyah halaman 96. Anwar Al Jundi mengatakan :
“Pemikiran politik Islam berbeda dengan pemikiran demokrasi Barat dalam beberapa segi :
1.Pemikiran politik Islam lebih menekankan kesatuan aqidah daripada kesatuan wilayah.
2.Pemikiran politik Islam menekankan pandangan yang menghimpun secara sempurna aspek yang material dan yang spiritual.
3.Pemikiran politik Islam bersandar pada landasan akhlaq (moral). Jadi terdapat standar moral bagi setiap aktivitas politik.
4.Jika kedaulatan dalam sistem demokrasi Barat terletak di tangan rakyat secara total, maka umat Islam dalam pemikiran politik Islaminya mengaitkan kedaulatannya dengan hukum-hukum Syariat Islam yang jauh dari hawa nafsu manusia.
5.Pemikiran politik Islam tidak dapat dinamakan sebagai pemikiran demokratis, atau pemikiran sosialistis-diktatoris. Sebab ia bertolak belakang dengan semua pemikiran itu. Jadi pemikiran politik Islam sangat jauh dari sikap ekstrem, memaksa, atau mendominasi.
6.Kedaulatan dalam sistem politik Islam bukanlah di tangan umat –seperti sistem demokrasi– juga bukan di tangan kepala negara –seperti sistem kediktatoran–, melainkan ada dalam penerapan Syariat Islam. Dengan demikian sistem politik Islam sangat jauh berbeda dengan sistem apa pun yang telah menyimpang itu.
7.Pemikiran politik Islam menetapkan bahwa masyarakat itu penting demi untuk kelestarian kehidupan individu, dan bahwa masyarakat tidak mungkin berjalan dengan lurus kecuali dengan adanya kekuasaan yang bertanggung untuk mewujudkan kemajuan dan kestabilan.
8.Negara dalam pemikiran politik Islam berdiri di atas dasar Undang-Undang Islami (Syariah) dan bahwa segala perundang-undang yang digunakan untuk mengatur masyarakat tidak akan dapat berlaku efektif kecuali bila mempunyai sifat sebagai penerapan dari As Sunnah An Nabawiyah dan ijtihad-ijtihad Ahlul Halli wal Aqdi. Negara harus mengawasi perilaku individu sebab negara bertanggung jawab untuk mewujudkan kebahagiaan pihak lain serta kebahagiaan dan kesatuan umat seluruhnya. Negara juga bertanggung jawab menjaga ajaran-ajaran dan tujuan-tujuan Islami.
9.Islam tidak mengakui adanya penguasa yang absolut. Sebaliknya yang diakui adalah penguasa yang dapat dipercaya (amanah) sesuai pedoman :
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk (manusia) dalam maksiat kepada Al Khalik.”
Penguasa harus melepaskan diri dari hawa nafsu, berpegang teguh dengan kebenaran dan keadilan. Umat mempunyai kebebasan untuk memilih penguasa dan mengoreksinya jika penguasa menyimpang dari kebenaran atau berbuat salah.
10.Pemikiran politik Islam menetapkan adanya kebebasan berpikir dan kebebasan beragama. Maka setiap orang –tentu harus tetap sesuai Syariat Islam— berhak untuk meyakini pemikiran apa saja yang dikehendaki dan tak ada seorang pun yang dapat memaksanya untuk meninggalkan pemikirannya itu.
11.Sistem konstitusi Islam diambil dari sumber Al Qur`anul Karim dan As Sunnah An Nabawiyah dengan tiga asas, yaitu keadilan, musyawarah, dan rahmah (kasih sayang). Dalam hubungannya dengan undang-undang internasional, Al Qur`an Al Karim dipandang sebagai hukum pertama yang menyerukan persamaan di antara umat manusia.
12.Sesungguhnya keluwesan Syariat Islam dan kemungkinannya untuk berkembang, harus tetap berpegang pada dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah), tujuan-tujuan syariah (maqashid asy syariah), dan prinsip-prinsip umum syariah (kulliyatu asy syariah). Jadi jelas ada perbedaan antara yang konstruktif dan yang destruktif, antara perkembangan dengan penyesuaian (dengan hawa nafsu). Tidak diragukan lagi bahwa ada bagian dari hukum-hukum Syariat Islam yang tidak menerima perkembangan dan bahwa hukum yang telah ditetapkan dalam nash tidak boleh ditinggalkan atau diganti penerapannya sampai kapan pun. Jadi pemeliharaan terhadap kemaslahatan bukanlah perkara yang tidak mempunyai batasan, melainkan harus tetap berpatokan dengan dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah). Secara umum dapat dikatakan bahwa jika dalam suatu hukum terdapat nash, maka nash itu wajib diikuti. Jika hukum itu berupa perkara yang diqiyaskan (pada suatu hukum), maka kita terikat dengan qiyas itu. Tetapi jika tidak terdapat nash, kita mempertimbangkan kemaslahatan yang ditunjukkan syara’ (mashalih asy syar’i) dengan tetap berpegang pada prinsip memelihara lima tujuan syariat yang dharuri (penting, harus) (dharurat al khams), menolak kesulitan (daf’ul haraj), dan mewujudkan manfaat (tahqiq al manafi’).
13.Sistem politik Islam berbeda dengan dengan dua sistem politik lainnya, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sebab sistem kapitalisme membatasi tujuannya pada pemeliharaan kebebasan individu dan hak-hak pribadi, sedang sistem sosialisme membatasi tujuannya pada pencegahan perjuangan kelas dan ekspolitasi kelas.
14.Pemikiran politik Islam tidak memberikan hak/otoritas dalam kekuasaan kepada penguasa, tetapi sebaliknya kekuasaan dianggap sebagai hak umat semata melalui syura yang Islami oleh Ahlul Halli wal Aqdi. Islam tidak melarang perempuan untuk turut berpendapat dalam masalah-masalah umum (publik). Namun Islam mengharamkan budak untuk berperan serta dalam menyampaikan pendapat dan bermusyawarah.
15.Pemikiran politik Islam menolak istilah-istilah demokrasi, sosialisme, nasionalisme, dan tidak mengkaitkannya dengan Islam. Islam memandang pemikiran-pemikiran itu sebagai aliran-aliran pemikiran (mazhab) yang asing yang sangat jelas perbedaannya dengan pemikiran Islam yang komprehensif. Ketika Barat menggunakan istilah-istilah itu, yang hadir dalam benak mereka adalah peristiwa-peristiwa sejarah Barat, situasi dan kondisi yang terjadi di Barat, dan tantangan-tantangan yang dihadapi Barat.
16.Perbedaan sifat-sifat khas antara negara Islam dan negara moderen akan mengungkapkan adanya sistem unik yang khas bagi negara Islam, yang tidak terdapat dalam sistem mana pun dari sistem-sistem pemerintahan moderen. Pilar utama negara Islam adalah pengkaitan agama dengan negara
17.Perjanjian (kontrak) politik Islam adalah kesepakatan politik antara penguasa dengan rakyat. Perjanjian politik dalam Islam didasarkan pada pemikiran-pemikiran dasar yang merdeka, yang tidak kalah pentingnya dengan pemikiran-pemikiran politik moderen, yaitu yang terpenting adalah kemerdekaan untuk memilih (dari pihak rakyat), dan kesepakatan dari pihak penguasa (atau khalifah) untuk memegang kekuasaan sebagai wakil dari umat. Dari sini diketahui bahwa teori perjanjian politik Islam sebenarnya mendahului teori-teori J.J.Rousseau dan John Locke.
Sumber :
Judul Asli : Ad Damghah Al Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah
Penulis : Syaikh Ali Belhaj (Tokoh FIS Al Jazair)
Penerbit : Darul ‘Uqab, Libanon, Beirut. PO Box 113/5974
Penerjemah : Muhammad Shiddiq Al Jawi
0 komentar:
Posting Komentar